Thursday, February 1, 2024

GADAI/ RAHN

 

B. GADAI (RAHN)

1. Pengertian Gadai

Dalam bahasa Arab, gadai adalah ar-Rahn. Sedangkan pengertian secara bahasa dan istilah sebagi berikut:

Etimologis

Terminologi

Subut (tetap) & Dawam (terus menerus)

Menjaga harta benda sebagai jaminan hutang agar hutang itu dilunasi (dikembalikan) atau dibayarkan harganya jika tidak dapat mengembalikannya atau jika dia berhalangan untuk melunasinya

2. Dasar Hukum

Gadai Hukum asal gadai adalah mubah atau diperbolehkan. Hal ini berdasarkan dalil al-Qur’an dan hadis, yaitu:

a. Al-Qur’an

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang dipegang (oleh yang berpiutang), akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 283)

Aisyah Ra. berkata: “Rasulullah Saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR. Al-Bukhari)

3. Rukun dan Syarat Gadai

Rukun adalah unsur-unsur yang wajib ada dalam setiap transaksi/akad. Jika ada salah satu unsur tidak ada, maka akad itu menjadi fasad/rusak.

 

a. Rukun gadai

1) Dua orang yang melakukan akad gadai (al-aqidan).

2) Barang yang digadaikan/diagunkan (al-marhun).

3) Hutang (al-marhun bih).

4) Shighat ijab dan Kabul.

Jika semua ketentuan tadi terpenuhi sesuai dengan ketentuan syariah dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasarruf (tindakan membelanjakan harta), maka akad gadai tersebut sah.

 

b. Syarat-Syarat Gadai

Disyaratkan dalam transaksi gadai hal-hal sebagai berikut:

1)  Syarat dua pihak yang berakad, yaitu baligh, berakal dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur dan mampu membedakan antara baik dan buruk).

2)  Syarat barang gadai (al-Marhun)

·     Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya, baik barang atau nilainya ketika penggadai tidak mampu melunasinya.

·     Barang gadai tersebut adalah milik orang yang menggadaikan atau yang diziinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.

·     Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena gadai adalah transaksi atas harta sehingga hal ini disyaratkan.

3)  Syarat berhubungan dengan hutang (al-marhun bih) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.

4. Ketentuan Umum

a.   Barang yang dapat digadaikan Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjualbelikan karena tidak ada harganya atau haram untuk diperjualbelikan termasuk tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Hal yang demikian itu dikarenakan tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjualbelikan.

b.   Barang Gadai adalah amanah. Barang gadai bukanlah sesuatu yang harus ada dalam hutang piutang, itu hanya diadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak. Misalnya jika pemilik uang khawatir uangnya sulit atau tidak dapat dikembalikan. Jadi, barang gadai itu hanya sebagai penegas dan penjamin bahwa peminjam akan mengembalikan uang yang akan dia pinjam. Oleh karena itu, jika dia telah membayar hutangnya maka barang tersebut kembali ke tangannya.

c.   Barang Gadai dipegang pemberi hutang Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi hutang selama masa perjanjian gadai.

5. Pemanfaatan Barang Gadai

Pihak pemberi hutang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadai. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berhutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak yang berhutang sepenuhnya. Adapun pemberi hutang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai hutang oleh pemilik barang. Sebagaimana keputusan ulama dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-2 di Surabaya tanggal 29 Oktober 1927 M, memutuskan haram hukumnya untuk memanfaatkan barang jaminan. Misalnya penerima barang gadai berupa sebidang sawah memanfaatkan sawah tersebut untuk bercocok tanam tanpa syarat pada waktu akad, baik yang sudah menjadi kebiasaan atau dengan syarat maupun perjanjian tertulis, karena akad itu mengadung unsur mengambil manfaat dari hutang (riba). Namun di sana ada keadaan tertentu yang membolehkan pemberi hutang memanfaatkan barang gadai, yaitu bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan barang tersebut. Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan.

6. Biaya Perawatan Barang Gadai

Jika barang gadai butuh biaya perawatan misalnya hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing ataupun kuda maka:

a.   Jika barang itu dibiayai oleh pemiliknya maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai tersebut.

b.   Jika dibiayai oleh pemilik uang maka dia boleh menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia keluarkan dan tidak boleh lebih.

7. Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai

Apabila pelunasan hutang telah jatuh tempo atau sesuai dengan waktu yang disepakati kedua belah pihak, maka orang yang berhutang berkewajiban melunasi hutangnya kepada pemberi hutang. Bila telah lunas, maka barang gadai wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila orang yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya, maka pemberi hutang berhak menjual barang gadai itu untuk menutup hutang tersebut. Apabila ada sisa dari penjualan dari barang tersebut maka sisa uang tersebut menjadi hak pemilik barang gadai. Sebaliknya, bila hasil penjualan barang tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya. Misalnya B memiliki hutang kepada C sebesar Rp.5.000.000,00. Lalu dia memberikan suatu barang yang nilainya ditaksir sekitar Rp.10.000,000,00 sebagai jaminan hutangnya. Kemudian sampai batas waktu yang telah dijanjikan, B tidak mampu untuk melunasinya. Maka barang jaminan itu boleh dijual. Jika barang itu terjual Rp. 8.000.000,00 maka C mengambil Rp.5.000.000,00 sebagai pelunasan atas piutangnya, dan sisanya Rp. 3.000.000,00 dikembalikan B. Namun jika hanya terjual dengan harga Rp. 4.000.000,00 maka orang yang menggadaikan masih menaggung sisa hutang Rp.1.000.000,00.

8. Hikmah Gadai

Hikmah disyariatkan gadai disamping dapat memberikan manfaat atas barang yang digadaikan juga dapat memberikan keamanan bagi rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin (penerima gadai), bahwa dananya tidak akan hilang. Karena jika rahin (penggadai) ingkar janji dalam pembayaran hutang, maka masih ada barang/aset yang dipegang oleh murtahin. Dari sisi rahin juga dapat memanfaatkan dana dari hutangnya untuk usaha secara maksimal sehingga membantu roda perekonomian menuju kesejahteraan yang lebih baik.

Sunday, January 7, 2024

HUTANG PIUTANG, GADAI DAN HIWALAH

 A. HUTANG PIUTANG (Al-QARD)
1. Pengertian Hutang Piutang

Hutang piutang atau qard mempunyai istilah lain yang disebut dengan “dain” (دين). Istilah “dain” (دين) ini juga sangat terkait dengan istilah “qard” (قرض yang menurut bahasa artinya memutus. Menurut terminologi Fikih, bahwa Akad Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian bahwa dia akan mengembalikan sesuatu yang diterimanya dalam jumlah yang sama dan dalam jangka waktu yang disepakati.

2. Dasar Hukum Hutang Piutang
    Dasar disyariatkan ad-dain/qard (hutang piutang) adalah al-Qur’an, hadits dan ijmak.
    a. Al-Qur’an surah al-Baqarah (2): 245 

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهٗ لَهٗٓ اَضْعَافًا كَثِيْرَةً ۗوَاللّٰهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۣطُۖ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

Artinya: "Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah?76) Dia akan melipatgandakan (pembayaran atas pinjaman itu) baginya berkali-kali lipat. Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki). Kepada-Nyalah kamu dikembalikan".

       Ayat ini menganjurkan kepada orang yang berpiutang (muqrid) untuk memberikan bantuan kepada orang lain dengan cara memberi hutang dan pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah Swt. Dari sisi orang yang berhutang (muqtarid), diperbolehkan berhutang untuk hal-hal yang bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan mengembalikan pinjaman dengan jumlah yang sama. 

    b. Hadis Rasullullah Saw. 

Artinya: “Tidak ada seorang muslim yang memberi hutang kepada seorang muslim dua kali kecuali seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya satu kali.” (HR. Ibnu Majah). 

Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang berpiutang (muqrid) akan diberi pahala yang berlipat ganda dimana dalam dua kali menghutangi seperti pahala sedekah satu kali.

3. Hukum Hutang Piutang  

Hukum asal dari hutang piutang adalah mubah (boleh), namun hukum tersebut bisa berubah sesuai situasi dan kondisi, yaitu:  

    a.  Hukum orang yang berhutang adalah mubah (boleh) sedangkan orang yang                          memberikan hutang hukumnya sunnah sebab ia termasuk orang yang menolong                     sesamanya. 

    b. Hukum orang yang berhutang menjadi wajib dan hukum orang yang menghutangi juga            wajib, njika peminjam itu benar-benar dalam keadaan terdesak, misalnya hutang beras            bagi orang yang kelaparan, hutang uang untuk biaya pengobatan dan lain sebagainya.            Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.: 

Artinya: “Tidak ada seorang muslim yang memberi pinjaman kepada seorang muslim dua kali kecuali seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya satu kali”. (HR. Ibnu Majah)

     c. Hukum memberi hutang bisa menjadi haram, jika terkait dengan hal-hal yang melanggar         aturan syariat. Misalnya memberi hutang untuk membeli minuman keras, berjudi                     dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. yang berbunyi:

   Artinya: “... Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan       bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaNya.” (QS.       Al-Maidah [5]: 2).

Dalam hutang piutang dilarang memberikan syarat dalam mengembalikan hutang. Misalnya Fatimah menghutangi Mahmud Rp. 100.000,00 dalam waktu 3 bulan dan meminta Mahmud untuk mengembalikan hutangnya sebesar Rp.110.000,00. Tambahan ini termasuk riba dan hukumnya haram. Tetapi, jika tambahan ini tidak disyaratkan waktu akad dan dilakukan secara sukarela oleh peminjam sebagai bentuk terima kasih, maka hal ini tidak termasuk riba bahkan dianjurkan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.:  

Artinya:”Dari Abu Hurairah Ra. berkata, “Seseorang telah mendatangi Rasulullah Saw. untuk menagih hutang seekor unta.” Maka, Rasulullah Saw. bersabda: “Berikanlah seekor unta yang lebih bagus dari untanya.” Lalu Nabi Saw. bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik dalam melunasi hutangnya.” (HR. Muslim).

 4. Rukun dan Syarat Hutang Piutang 

  Rukun Hutang Piutang (qard) ada tiga yaitu:

a. Dua orang yang berakad (pemberi hutang dan orang yang berhutang),

1) Syarat pemberi hutang antara lain ahli tabarru’ (orang yang berbuat kebaikan) yakni merdeka, baligh, berakal sehat, dan rasyid (pandai serta dapat membedakan yang baik dan yang buruk).

2) Syarat orang yang berhutang. Orang yang berhutang termasuk kategori orang yang mempunyai ahliyah al-muamalah (kelayakan melakukan transaksi) yakni merdeka, baligh dan berakal sehat.

b. Harta yang dihutangkan

1) Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya, seperti uang, barang-barang yang ditakar, ditimbang atau dihitung.

2) Harta yang dihutangkan diketahui kadar dan sifatnya.

c. Sighat ijab kabul
        Ucapan antara dua pihak yang memberi hutang dan orang yang berhutang. Ucapan ijab misalnya “Saya menghutangimu atau memberimu hutang” dan ucapan kabul misalnya “Saya menerima” atau “ saya ridha “ dan sebagainya.


 5. Ketentuan Hutang Piutang 
    Pada dasarnya hutang piutang merupakan akad yang bersifat ta’awun (tolong menolong). Walaupun demikian, sifat ta’awun itu bisa berujung permusuhan ataupun perselisihan jika salah satu atau kedua belah pihak yang berakad tidak mengetahui tentang ketentuan akad yang mereka lakukan. 
Untuk menghindari perselisihan yang tidak diinginkan, maka kedua belah pihak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  • Hutang piutang sangat dianjurkan untuk ditulis dan dipersaksikan walaupun tidak wajib.
  • Pemberi hutang tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang. 
  • Melunasi hutang dengan cara yang baik dan tidak menyakitkan.
  • Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
  • Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
  • Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan hutang, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak orang yang memberikan hutang.
  • Segera melunasi hutang.
  • Memberikan tenggang waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo. 
6. Tambahan dalam Hutang Piutang

a. Penambahan yang disyaratkan.
Demikian ini dilarang berdasarkan ijmak (kesepakatan para ulama). Begitu juga manfaat yang disyaratkan, seperti perkataan: “Aku memberi hutang kepadamu dengan syarat kamu memberi hak kepadaku untuk memakai sepatumu atau menggunakan motormu.” atau manfaat lainnya karena yang demikian termasuk rekayasa dan menjadi riba.
b. Penambahan yang tidak disyaratkan .
Ketika seseorang melunasi hutang kemudian memberi tambahan melebihi hutangnya sebagai wujud balas budi ataupun terima kasih karena sudah ditolong sehingga terbebas dari kesulitan maka hukumnya boleh.


7. Adab Hutang Piutang 

  1. Seorang yang memberikan hutang tidak mengambil keuntungan dari apa yang dihutangkannya. 
  2. Menulis perjanjian secara tertulis disertai dengan saksi yang bisa dipercaya. 
  3. Seseorang yang berhutang harus berniat dengan sungguh-sungguh untuk melunasi hutangnya dengan harta yang halal. 
  4. Berhutang pada orang yang berpenghasilan halal. 
  5. Berhutang dalam keadaan darurat atau terdesak saja. 
  6. Tidak boleh melakukan hutang piutang disertakan dengan jual beli. 
  7. Jika ada keterlambatan dalam pengembalian/pelunasan hutang, maka segera memberitahukan kepada pihak yang berpiutang dengan baik. 
  8. Pihak yang berpiutang hendaknya memberikan toleransi waktu/menangguhkan hutang jika pihak yang berhutang mengalami kesulitan dalam pelunasan.  
  9. Menggunakan uang hasil berhutang dengan benar. 
  10. Berterimakasih kepada orang yang berpiutang atas bantuannya.
8. Hikmah Hutang Piutang 
a. Bagi orang yang berpiutang, antara lain: 
    1. Menambah rasa syukur kepada Allah Swt. atas karunia-Nya berupa kelapangan rezeki. 
    2. Memupuk sikap peduli dan empati terhadap orang yang membutuhkan. 
    3. Menumbuhkan rasa solidaritas terhadap sesama manusia. 
    4. Mempererat tali silaturahim dan persaudaraan. 
    5. Menambah pahala karena sebagai ladang untuk ibadah. 
b. Bagi yang berhutang, antara lain:
    1. Menguji kesabaran dan keimanan. 
    2. Kesulitan hidup menjadi berkurang. 
    3. Beban hidup menjadi lebih ringan. 
    4. Dapat membantu terpenuhi kebutuhan hidupnya. 
    5. Bisa membuka lapangan usaha dengan modal uang hasil berhutang. 

Nasehat Ulama

Sunday, October 15, 2023

RESUME MATERI FIKIH KELAS IX MTs

 

Secara etimologis (bahasa) jual beli  (berarti tukar menukar secara mutlak (mutlaq al-mubadalah) atau berarti tukar menukar sesuatu dengan sesuatu (muqabalah syai’ bi syai’). Jual beli menurut istilah adalah pertukaran harta dengan harta untuk keperluan pengelolaan yang disertai dengan lafal ijab dan kabul menurut tata aturan yang ditentukan dalam syariat Islam.

Jual beli merupakan akad yang dibolehkan menurut al-Quran, Sunnah dan ijmak ulama. Maka, hukum asal jual beli adalah mubah atau boleh. Ini artinya setiap orang Islam bisa melakukan akad jual beli ataupun tidak, tanpa ada efek hukum apapun.


1. Dalil berdasarkan Al-Qur’an


Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275)

2. Dalil berdasarkan Hadits





Artinya: “Dari Rifa’ah bin Rafi’ Ra. bahwasannya Nabi Saw. ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik, beliau menjawab, seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yang mabrur.” (HR. Al-Bazzar dan ditashih oleh Hakim).


Ijmak berarti kesepakatan para ulama. Syaikh Ibnu Qudamah Ra. menyatakan bahwa kaum muslimin telah sepakat diperbolehkannya jual beli (bai’) karena mengandung hikmah yang mendasar. Hikmah tersebut adalah bahwa setiap orang pasti mempunyai ketergantungan terhadap sesuatu yang dimiliki orang lain. Padahal orang lain tidak akan memberikan sesuatu tanpa ada kompensasi. Dalam arti lain jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, barang milik orang lain yang di butuhkannya itu harus diganti dengan barang lain yang sesuai.


Mayoritas ulama menyatakan bahwa rukun jual beli ada empat yaitu:

1.   Penjual dan pembeli (aqidain).

2.   Barang yang diperjual belikan (ma’qud alaih).

3.   Alat nilai tukar pengganti barang.

4.   Ucapan serah terima antara penjual dan pembeli (ijab kabul).


Berikut syarat jual-beli diantaranya:

a. Syarat penjual dan pembeli (aqidain)

b. Syarat barang jual beli (ma’qud alaih)

c. Alat untuk tukar menukar barang

d. Ijab dan kabul


Jual beli yang dianggap sah antara penjual dan pembeli ketika memnuhi syarat        berikut:

1) Kedua belah pihak harus baligh

2) Keduanya berakal sehat.

3) Bukan pemboros (tidak suka memubazirkan barang).

4) Bukan paksaan, yakni atas kehendak sendiri.


Syarat barang yang diperjualbelikan antara penjual dan pembeli diantaranya:

1)   Barang harus ada saat terjadi transaksi, jelas dan dapat dilihat atau diketahui oleh kedua belah pihak.

2)   Barang yang diperjualbelikan berupa harta yang bermanfaat.

3)   Barang itu suci.

4)   Milik penjual.

5)   Barang yang dijual dapat dikuasai oleh pembeli.


Syarat alat untuk tukar menukar barang sebagai berikut:

1)   Harga harus disepakati kedua belah pihak dan disepakati jumlahnya.

2)   Nilai kesepakatan itu dapat diserahkan langsung pada waktu transaksi jual beli.

3) Apabila jual beli dilakukan secara barter (al-muqayyadah), bukan berupa uang tetapi berupa barang, maka tidak boleh barang yang diharamkan.


Jual beli ditinjau dari segi hukumnya, dibagi menjadi tiga macam yaitu:

1)   Jual beli yang sah

2)   Jual beli terlarang

3) Jual beli yang sah, tetapi dilarang agama


Berikan contoh jual beli yang terlarang!

1)   Jual beli sistem ijon

2)   Jual beli barang haram

3)   Jual beli sperma hewan

4)   Jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan induknya

5)   Jual beli barang yang belum dimiliki

6)  Jual beli barang yang belum jelas


    Contoh jual beli ini hukumnya sah, tetapi dilarang oleh agama karena adanya suatu        sebab atau akibat yang tidak baik dari akad tersebut

1)   Jual beli pada saat khutbah dan shalat Jum’at

2)   Jual beli dengan cara menghadang di jalan sebelum sampai pasar

3)   Jual beli dengan niat menimbun barang

4)   Jual beli dengan cara mengurangi ukuran dan timbangan

5)   Jual beli dengan cara mengecoh

6) Jual beli barang yang masih dalam tawaran orang lain


Thursday, August 10, 2023

CONTOH LAPORAN PENGEMBANGAN DIRI MODERASI BERAGAMA

 

LAPORAN PENGEMBANGAN DIRI (LPD) 

MODERASI BERAGAMA 

SILAHKAN UNDUH CONTOH LAPORAN DI 

LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR 
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang
B. Tujuan 
C. Manfaat
D. Nama Kegiatan
BAB II LAPORAN KEGIATAN
A. Judul Diklat
B. Waktu Pelaksanaan
C. Tempat Kegiatan Diklat
D. Jenis Kegiatan
E. Tujuan Diklat
F. Tindak Lanjut Pengembangan Diri
G.Dampak Pengembangan Diri
BAB III PENUTUP
email: ruslanzaenudin82@gmail.com

SUJUD SAHWI

 

A. Ketentuan Sujud Sahwi

1. Pengertian Sujud Sahwi
        Secara bahasa, arti kata sahwi berasal dari katayang berarti lupa atau lalai. Jadi sujud adalah sujud dua kali yang dilakukan karena seseorang meninggalkan Sunah ab`adh, kekurangan atau kelebihan jumlah rakaat, ataupun karena ragu-ragu jumlah rakaat dalam salat yang dikerjakan.

2. Hukum dan Dalil Sujud Sahwi
    Hukum sujud sahwi adalah Sunah sehingga salat yang kamu lakukan tidak batal manakala meninggalkannya. Namun bila imam melakukan sujud sahwi, maka kita wajib mengikuti imam melakukan sujud sahwi. Ada beberapa hadis yang menjadi dasar disunahkannya sujud sahwi, antara lain:


Artinya: “Apabila adzan dikumandangkan, maka setan berpaling sambil kentut hingga dia tidak mendengar adzan tersebut. Apabila adzan selesai dikumandangkan, maka ia pun kembali. Apabila dikumandangkan iqomah, setan pun berpaling lagi. Apabila iqamah selesai dikumandangkan, setan pun kembali, ia akan melintas di antara seseorang dan nafsunya. Dia berkata, “Ingatlah demikian, ingatlah demikian untuk sesuatu yang sebelumnya dia tidak mengingatnya, hingga laki-laki tersebut senantiasa tidak mengetahui berapa rakaat dia salat. Apabila salah seorang dari kalian tidak mengetahui berapa rakaat dia salat, hendaklah dia bersujud dua kali dalam keadaan duduk.” (HR. Al-Bukhari).
Artinya: “Dari Abi Said al-Khudri ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda:”Apabila salah seorang dari kalian merasa ragu dalam salatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia salat, tiga ataukah empat rakaat, maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia salat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan salatnya. Lalu jika ternyata salatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim).

Artinya: “Dari Abdullah Ibnu Buhainah al-Asdi, bahwa Rasulullah Saw. pernah melaksanakan salat Zuhur namun tidak melakukan duduk (tasyahud awal). Setelah beliau menyempurnakan salatnya, beliau sujud dua kali, dan beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk sebelum. Beliau lakukan seperti ini sebelum salam. Maka orang-orang mengikuti sujud bersama beliau sebagai pengganti yang terlupa dari duduk (tasyahud awal).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). 

3. Sebab-sebab Sujud Sahwi
Pertama, meninggalkan Sunah ab’adh, yaitu amalan Sunah yang apabila tertinggal, maka di Sunahkan sujud sahwi. Sedangkan jika yang tertinggal Sunah haiat, maka tidak perlu sujud sahwi. 
Kedua, ragu-ragu dalam hal meninggalkan Sunah ab’adh. 
Ketiga, mengerjakan sesuatu yang membatalkan jika dikerjakan dengan sengaja dan tidak membatalkan jika lupa, seperti menambah rukun salat. Jika sesorang menambah amalan salat karena lupa, misalnya ia ruku’ dua kali, atau berdiri di waktu ia harus duduk, atau salat lima rakaat pada zuhur misalnya, maka diSunahkan sujud sahwi. 
Keempat, memindahkan rukun qauli (ucapan) kepada yang bukan tempatnya, misalnya membaca Fatihah ketika ruku’. 
Kelima, jika seseorang ragu jumlah rakaat, apakah baru tiga rakaat atau sudah empat rakaat, maka yang ditetapkan adalah yang lebih sedikit, lalu menambah satu rakaat lagi, dan sujud sahwi sebelum salam. 

4. Tata Cara Sujud Sahwi
     Sujud sahwi itu ada yang dilakukan setelah salam dan ada juga yang dilakukan setelah salam.
    a.  Sujud sahwi yang dilakukan sebelum salam: Lupa mengerjakan Sunah ab’ad dan teringat                       sebelum salam. Ragu terhadap hitungan jumlah rakaat salat yang sedang dikerjakan dan mushalli             tidak yakin mengenai hitungan jumlah rakaat.
    b. Sujud sahwi yang dilakukan setelah salam: Terdapat penambahan jumlah rakaat salat Terdapat                 penambahan gerakan dalam salat Ragu dan bisa menentukan mana yang lebih meyakinkan

5. Hikmah Sujud Sahwi

  • Menjauhkan diri dari sikap sombong dan takabur 
  • Menumbuhkan sikap rendah dimelri di hadapan Allah Swt. 
  • Menumbuhkan kesadaran akan kelemahan kita sebagai hamba, sekaligus kesadaran akan keagungan Allah Yang Maha Kuasa 
  • Menyadarkan bahwa manusia adalah yang sering salah dan lupa, sehingga harus banyak mohon ampun kepada Allah Swt.

GADAI/ RAHN

  B. GADAI (RAHN) 1. Pengertian Gadai Dalam bahasa Arab, gadai adalah ar-Rahn. Sedangkan pengertian secara bahasa dan istilah sebagi be...