B. GADAI (RAHN)
1. Pengertian Gadai
Dalam bahasa Arab, gadai adalah ar-Rahn. Sedangkan
pengertian secara bahasa dan istilah sebagi berikut:
Etimologis |
Terminologi |
Subut (tetap) &
Dawam (terus menerus) |
Menjaga
harta benda sebagai jaminan hutang agar hutang itu dilunasi (dikembalikan)
atau dibayarkan harganya jika tidak dapat mengembalikannya atau jika dia
berhalangan untuk melunasinya |
2. Dasar Hukum
Gadai Hukum asal gadai adalah mubah
atau diperbolehkan.
Hal ini berdasarkan dalil al-Qur’an
dan hadis, yaitu:
a. Al-Qur’an
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan (borg) yang dipegang (oleh yang berpiutang), akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 283)
Aisyah Ra. berkata: “Rasulullah Saw. pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR. Al-Bukhari)
3. Rukun dan Syarat Gadai
Rukun adalah unsur-unsur yang
wajib ada dalam setiap transaksi/akad. Jika ada salah satu unsur tidak ada,
maka akad itu menjadi fasad/rusak. |
a. Rukun gadai
1) Dua orang yang melakukan akad gadai (al-aqidan).
2) Barang yang digadaikan/diagunkan (al-marhun).
3) Hutang (al-marhun bih).
4) Shighat ijab dan Kabul.
Jika semua ketentuan tadi terpenuhi
sesuai dengan ketentuan syariah dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasarruf
(tindakan membelanjakan harta), maka akad gadai tersebut sah.
b.
Syarat-Syarat Gadai
Disyaratkan dalam transaksi gadai
hal-hal sebagai berikut:
1) Syarat dua pihak yang berakad,
yaitu baligh, berakal dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur dan mampu
membedakan antara baik dan buruk).
2) Syarat barang gadai (al-Marhun)
·
Barang
gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya, baik barang
atau nilainya ketika penggadai tidak mampu melunasinya.
·
Barang
gadai tersebut adalah milik orang yang menggadaikan atau yang diziinkan baginya
untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
·
Barang
gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena gadai adalah
transaksi atas harta sehingga hal ini disyaratkan.
3) Syarat berhubungan dengan hutang (al-marhun bih) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
4. Ketentuan Umum
a. Barang yang dapat digadaikan
Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar
dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat
diperjualbelikan karena tidak ada harganya atau haram untuk diperjualbelikan
termasuk tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Hal yang demikian itu
dikarenakan tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan
barang yang haram atau tidak dapat diperjualbelikan.
b. Barang Gadai adalah amanah.
Barang gadai bukanlah sesuatu yang harus ada dalam hutang piutang, itu hanya
diadakan dengan kesepakatan kedua belah pihak. Misalnya jika pemilik uang
khawatir uangnya sulit atau tidak dapat dikembalikan. Jadi, barang gadai itu
hanya sebagai penegas dan penjamin bahwa peminjam akan mengembalikan uang yang akan
dia pinjam. Oleh karena itu, jika dia telah membayar hutangnya maka barang
tersebut kembali ke tangannya.
c. Barang Gadai dipegang pemberi hutang Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi hutang selama masa perjanjian gadai.
5. Pemanfaatan Barang Gadai
Pihak pemberi hutang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadai. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berhutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak yang berhutang sepenuhnya. Adapun pemberi hutang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai hutang oleh pemilik barang. Sebagaimana keputusan ulama dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-2 di Surabaya tanggal 29 Oktober 1927 M, memutuskan haram hukumnya untuk memanfaatkan barang jaminan. Misalnya penerima barang gadai berupa sebidang sawah memanfaatkan sawah tersebut untuk bercocok tanam tanpa syarat pada waktu akad, baik yang sudah menjadi kebiasaan atau dengan syarat maupun perjanjian tertulis, karena akad itu mengadung unsur mengambil manfaat dari hutang (riba). Namun di sana ada keadaan tertentu yang membolehkan pemberi hutang memanfaatkan barang gadai, yaitu bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan barang tersebut. Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan.
6. Biaya Perawatan Barang Gadai
Jika barang gadai butuh biaya perawatan
misalnya hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing ataupun kuda maka:
a. Jika barang itu dibiayai oleh
pemiliknya maka pemilik uang tetap tidak boleh menggunakan barang gadai
tersebut.
b. Jika dibiayai oleh pemilik uang
maka dia boleh menggunakan barang tersebut sesuai dengan biaya yang telah dia
keluarkan dan tidak boleh lebih.
7. Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
Apabila pelunasan hutang telah jatuh tempo atau sesuai dengan waktu yang disepakati kedua belah pihak, maka orang yang berhutang berkewajiban melunasi hutangnya kepada pemberi hutang. Bila telah lunas, maka barang gadai wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila orang yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya, maka pemberi hutang berhak menjual barang gadai itu untuk menutup hutang tersebut. Apabila ada sisa dari penjualan dari barang tersebut maka sisa uang tersebut menjadi hak pemilik barang gadai. Sebaliknya, bila hasil penjualan barang tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya. Misalnya B memiliki hutang kepada C sebesar Rp.5.000.000,00. Lalu dia memberikan suatu barang yang nilainya ditaksir sekitar Rp.10.000,000,00 sebagai jaminan hutangnya. Kemudian sampai batas waktu yang telah dijanjikan, B tidak mampu untuk melunasinya. Maka barang jaminan itu boleh dijual. Jika barang itu terjual Rp. 8.000.000,00 maka C mengambil Rp.5.000.000,00 sebagai pelunasan atas piutangnya, dan sisanya Rp. 3.000.000,00 dikembalikan B. Namun jika hanya terjual dengan harga Rp. 4.000.000,00 maka orang yang menggadaikan masih menaggung sisa hutang Rp.1.000.000,00.
8. Hikmah Gadai
Hikmah disyariatkan gadai disamping
dapat memberikan manfaat atas barang yang digadaikan juga dapat memberikan keamanan
bagi rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin (penerima gadai), bahwa
dananya tidak akan hilang. Karena jika rahin (penggadai) ingkar janji dalam
pembayaran hutang, maka masih ada barang/aset yang dipegang oleh murtahin. Dari
sisi rahin juga dapat memanfaatkan dana dari hutangnya untuk usaha secara
maksimal sehingga membantu roda perekonomian menuju kesejahteraan yang lebih
baik.